Selasa, 28 Agustus 2012


Dunia yang Dilipat ~ Sebuah Sinopsis

Apa yang Dilihat Mata Kita Di Masa Depan
Kini dunia telah memasuki suatu realitas baru, yakni realitas yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Seluruh realitas tersebut merupakan sebuah dunia yang dilipat, yang di dalamnya tampil berbagai sisi dunia dengan wajahnya yang baru. Segalanya menjadi terasa kecil, ringkas dan serba praktis. Berpuluh-puluh jilid ensiklopedi yang memadati almari dan rak-rak buku kini, dapat dipadatkan dalam sebuah Tablet dan dengan mudah dibawa dan dibaca dimanapun. Menulis surat ke luar negeri yang dahulu memakan waktu berbulan-bulan, kini dapat dipersingkat dalam hitungan detik lewat layanan e-mail. Bercakap-cakap dengan orang yang bermil-mil jauhnya juga dapat dihantarkan melalui media internet sehingga nampak dilayar kita begitu nyata dengan tidak menghilangkan inti utama dari komunikasi itu sendiri
Sekarang coba kita bayangkan bahwa dunia itu seperti selembar kertas. Sebagaimana seorang ahli origami (seni lipat kertas Jepang), lipat kertas tersebut menjadi dua, empat, delapan, enam belas, dan seterusnya …. hingga pada satu titik, kertas tersebut tidak dapat dilipat lagi, bagaimanapun caranya. Lipatan selanjutnya tidak dapat dilakukan karena adanya batas kemampuan struktur kertas itu yang menahan perubahan dirinya. Pemaksaan berupa penekanan, pemadatan, pemampatan atau perusakan akan memungkinkan kertas dilipat lebih lanjut. Namun hal ini berarti kita telah melampaui batas-batas struktur, sifat, dan karakteristik yang seharusnya tidak dilewati. Melipat melewati batas yang seharusnya tidak dilewati melalui cara pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan, pengerdilan (miniaturisasi) itulah lukisan sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai dunia yang dilipat. Pembahasan seperti ini ditulis jelas oleh Dosen FSRD ITB, Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A melalui bukunya “Sebuah Dunia yang Dilipat” (Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme). Beliau mencoba mengungkap cermin dari dunia yang telah melampaui batas-batas yang seharusnya tidak dilaluinya, yang menciptakan sebuah wajah baru kebudayaan yang tak terbayangkan, tak terpikirkan, dan tak terimajinasikan sebelumnya.
Meski ini merupakan buku lama beliau terbitan Mizan cetakan pertama pada 1998 akan tetapi ulasan-ulasannya tetap up-to-date, Beliau menguraikan menjelang milenium ketiga, fenomena-fenomena menarik sebagai sebuah realitas baru tumbuh dengan subur bak kapang di musim hujan. Ini terjadi karena ditopang dan didorong oleh teknologi Informasi. Yasraf Amir Piliang, penulis buku ini mencoba memaparkan berbagai realitas kehidupan kontemporer di penghujung milenium kedua. Secara esensial, buku ini mendeskripsikan, baik secara ekspresif maupun impresif, fragmen-fragmen dunia yang dapat dilipat yang terasa mengalami perubahan budaya secara cepat, dramatis dan amat dipengaruhi oleh proses pengglobalan keadaan yang menyangkut hampir segala bidang kehidupan.
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Yasraf Amir Pilliang mengistilahkan dunia seperti itu sebagai dunia yang telah dilipat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip Yasraf Amir Pilliang, bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
Pada bab satu yang berjudul ’Perangkap-perangkap Ekstasi’, Yasraf menjelaskan terperangkapnya berbagai sisi kehidupan ke dalam perangkap-perangkap ekstasi, yakni ekstasi ekonomi, ekstasi komoditi, ekstasi komunikasi, ekstasi konsumerisme, ekstasi gaya hidup, ekstasi televisi, ekstasi seksual, ekstasi internet, dan ekstasi ecstasy. Selain itu, Yasraf mengajak kita untuk berkontemplasi agar terlepas dari perangkap-perangkap tadi. Hal ini memiliki potensi kejadian yang cukup kuat jika manusia kontemporer dikembalikan lagi pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani, dan ketajaman hati di tengah belantara citraan, bujuk rayu dan kepalsuan masyarakat konsumen yang mana menjadi fenomena dewasa ini.
Ekstasi sendiri merupakan suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncak, saat jiwa tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari, sehingga muncul puncak kemampuan diri dan kebahagiaan luar biasa serta trance, kemudian diiringi oleh pencerahan.
Pada umumnya, orang menganggap puncak ekstasi itu adalah kesenangan dan hiburan semata, semisal fashion, free sex, dan sebangsanya. Namun, hakikat puncak ekstasi adalah upaya maksimal yang dapat kita lakukan untuk meraih kesempurnaan diri di hadapan Tuhan. Berkat kekeliruan persepsi tentang puncak ekstasi tersebut, maka muncullah masyarakat konsumer yang penuh narsisisme, yakni suatu kecenderungan memandang dunia dari cerminan nafsu, dari kegairahan, bahkan dari ketakutan-ketakutan.
Namun sayangnya, tenggelam dalam siklus hawa nafsu berlebihan dan berkepanjangan menyebabkan seseorang menjadi beku atau hampa akan makna, nilai-nilai dan esensi moral. Dampaknya bisa kita lihat sekarang, segala sesuatunya menjadi semakin tidak keruan, sebagaimana menyebarnya virus HIV/AIDS, ekonomi libido, ekstasi ekonomi, ekstasi seksual, ekstasi permainan (semisal olahraga), bahkan perubahan segala sesuatunya menjadi virtual (termasuk virtual money).
Sedangkan pada bab kedua dibahas mengenai ‘realitas-realitas parodi’. Bab ini menjelaskan berbagai bentuk wacana parodi di dalam masyarakat dan kebudayaan kontemporer. Misalnya: parodi seni, parodi politik, parodi sosial, parodi ekonomi, dan parodi seksual. Di sini, manusia memparodi dirinya sendiri karena mereka telah kehilangan kepercayaan terhadap diri mereka sendiri. daripada percaya terhadap image atau wilayahnya sendiri, manusia lebih memilih percaya pada apa yang disebut di dalam ilmu psikoanalisis sebagai image cermin (mirror image) dari dirinya sendiri.
Dalam buku Sebuah Dunia Yang Dilipat ini, Yasraf A. Piliang betul-betul memaparkan dengan gamblang bahwa internet merupakan sarana yang berhasil memadatkan ruang dan waktu dalam beberapa detik. Dewasa ini, seseorang tidak perlu lagi mempersiapkan paspor dan visa untuk mengetahui keindahan air terjun Niagara atau kecantikan kota Venice di Italia. Orang tidak perlu mencapai ribuan kilometer untuk mencari gadis dari kawasan Amerika Latin.
Sama halnya pula yang dikatakan lagi oleh Yasraf bahwa dunia maya memungkinkan seseorang bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh kesadarannya. Segala tindak-tanduk manusia bisa dimodifikasi sesuai dengan keinginan hati. Hal ini ditunjang oleh fasilitas internet yang bisa diperbaharui atau dihapus.
Menurutnya, dunia maya merupakan gabungan antara kebenaran dan kepalsuan. Seluruh bentuk kebenaran bersanding pada saat bersamaan dengan bentuk-bentuk kejahatan. Yasraf menyebut semua hal bebas berkeliaran di dalamnya. Kebebasan menjadi instrumen bagi cyber-violence, cyber-pron, dan cyber anarchy.
Pada bagian terakhir, yakni ‘jejak-jejak milenium’, diterangkan mengenai jejak-jejak milenium yang mengungkapkan secara ironis bagaimana masyarakat kontemporer kita yang tengah memasuki milenium ketiga terkurung di dalam realitas semu yang menguasai realitas kehidupan. Bermacam realitas baru yang maya mengurung masyarakat kontemporer dari setiap arah, yakni hiperealitas, realitas virtual, ekonomi virtual, politik virtual, dan media virtual.
Dunia terkurung di antara dunia virtual dengan dunia kenyataan hidup (fakta). Atau dengan kata lain terkurung di antara realitas semu dimana semua yang padat melebur ke dalam layar kaca serta semua yang mahal berada di shopping mall. Antara layar kaca dan shopping mall memiliki hubungan erat, sebab semua yang ada di layar kaca menjadi tontonan dan panutan manusia (sinetron, informasi, iklan, dsb) dan shopping mall merupakan alat komoditi untuk memuaskan fantasi manusia yang dihasilkan oleh tayangan dari layar kaca.
Memasuki milenium ketiga, terciptalah ekonomi virtual dan masyarakat cyber, sehingga semua hal yang kontradiktif hadir bersamaan (baik/buruk, moral/amoral, kaya/miskin). Dalam keadaan seperti inilah muncul virus-virus yang dapat melenyapkan batas-batas sosial, semisal virus AIDS, virus program, virus soros, dan virus spekulan mata uang. Sebagai dampak globalisasi, uang yang menjadi virtual money kehilangan maknanya sebagai sistem ukuran bagi produksi dan nilai dalam dunia nyata.
Hal vital yang perlu kita perhatikan dewasa ini adalah bahwa dimanapun dan kapanpun, kita tetap tidak akan aman dari invasi getaran hawa nafsu dan arus energy libido yang diakibatkan oleh tayangan-tayangan televisi, video, atau jaringan computer yang ‘pelan tapi pasti’ dapat menjadikan manusia tak lagi bermoral.
Selain itu terdapat pula libidosophy yang melakukan pengembaraan dalam menjelajahi konsep-konsep serta kemungkinan pelepasan nafsu dan pemyempurnaan energi libido. Amerika Serikat merupakan contoh negara dimana penduduknya bebas melakukan libidosophy sehingga berkembanglah logika libidonomics (tidak cukup hanya 1 kesenangan atau1 hiburan).
Di samping mengikuti gaya hidup yang penuh upaya menanggalkan hawa nafsu dan arus energi libido (gaya hidup konsumerisme), tentunya manusia masih memiliki beberapa pilihan gaya hidup alternatif menuju ke arah yang lebih baik, antara lain gaya hidup etnik dan subkultur, spiritualisme dan neo spiritualisme, atau gaya hidup hijau.
Bahaya lain yang mengancam kita di tengah era globalisasi dan modernisasi ini adalah libidosophy (yang dijelaskan di atas) dan pornografi yang mengancam masa depan kebudayaan karena sudah terlalu bebasnya manusia mengeluarkan hasratnya tanpa ada batas-batas tertentu. Kemudian hal ini jua yang dapat membinasakan peradaban manusia. Padahal nenek moyang manusia yang amat primitif dengan segala usahanya telah mencoba membangun bumi yang aman, damai, dan sejahtera bagi seluruh penghuninya. Terdapat sebuah konteks menarik dalam buku ini, yaitu ‘transparansi kebudayaan’ yang pada akhirnya mewajibkan manusia untuk memilih (sebagaimana halnya gaya hidup) untuk kelangsungan dan keselamatan dunia berikut isinya.
Menuju kota digital, seperti yang kita bayangkan dimana segala sesuatunya berlaku sangat bebas, modern dan tanpa batas, ternyata memiliki sisi lain selain sisi positifnya. Adapun sisi negatifnya adalah munculnya kondisi menuju kota mati, proses kematian geografi yang diambil alih oleh kolonialisasi imagologi.
Secara umum, buku ini menerangkan dan mengingatkan kita akan fakta sebuah dunia yang dilipat dengan seluruh pernak-perniknya dan segala dampaknya (baik positif atau negatif). Dengan hamparan-hamparan fakta didukung oleh dasar pemikiran yang kuat, menjadikan buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang ini menggugah manusia untuk mengetahui ada apa sebenarnya di balik dunia yang semakin berlipat ini.
Rasa kepedulian akan buruknya mengumbar hawa nafsu dan peringatan bahwa tidak ada yang aman di dunia ini cukup menjadi cambuk kepada pembaca agar tetap hidup di jalan yang lurus (benar). Globalisasi, modernisasi, atau apapun namanya hanyalah merupakan sebuah perubahan dalam hidup manusia, namun jangan sampai manusia ikut terseret dalam arus menyesatkan di dalam pusarannya.
Satu hal yang menarik dari buku ini adalah ketika Yasraf menjelaskan istilah ekstasi yang digunakan secara latewral ketika di sana-sini digambarkan anak-anak muda yang hanyut di dalam pengaruh pil ectasy. Namun, istilah ekstasi juga digunakan secara metafor saat berbagai hal pada bagian satu berbicara ekstasi ekonomi, ekstasi komunikasi atau ekstasi media. Buku yang sangat menarik ini memiliki keunikan tersendiri karena mengungkap secara komprehensif realitas kebudayaaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme. Selain itu sangat relevan bagi seluruh kalangan yang menginginkan mengerti hakekat kehidupan dan realitas budaya sehingga tidak terjebak ’kesemuan’.

~Sumber~