Dunia yang Dilipat ~ Sebuah Sinopsis
Apa
yang Dilihat Mata Kita Di Masa Depan
Kini dunia telah memasuki suatu realitas baru, yakni realitas
yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan
percepatan dunia. Seluruh realitas tersebut merupakan sebuah dunia yang
dilipat, yang di dalamnya tampil berbagai sisi dunia dengan wajahnya yang baru.
Segalanya menjadi terasa kecil, ringkas dan serba praktis. Berpuluh-puluh jilid
ensiklopedi yang memadati almari dan rak-rak buku kini, dapat dipadatkan dalam
sebuah Tablet dan dengan mudah dibawa dan dibaca dimanapun. Menulis surat ke
luar negeri yang dahulu memakan waktu berbulan-bulan, kini dapat dipersingkat
dalam hitungan detik lewat layanan e-mail. Bercakap-cakap dengan orang yang
bermil-mil jauhnya juga dapat dihantarkan melalui media internet sehingga
nampak dilayar kita begitu nyata dengan tidak menghilangkan inti utama dari
komunikasi itu sendiri
Sekarang coba kita bayangkan bahwa dunia itu seperti selembar
kertas. Sebagaimana seorang ahli origami (seni lipat kertas Jepang), lipat
kertas tersebut menjadi dua, empat, delapan, enam belas, dan seterusnya ….
hingga pada satu titik, kertas tersebut tidak dapat dilipat lagi, bagaimanapun
caranya. Lipatan selanjutnya tidak dapat dilakukan karena adanya batas
kemampuan struktur kertas itu yang menahan perubahan dirinya. Pemaksaan berupa
penekanan, pemadatan, pemampatan atau perusakan akan memungkinkan kertas
dilipat lebih lanjut. Namun hal ini berarti kita telah melampaui batas-batas
struktur, sifat, dan karakteristik yang seharusnya tidak dilewati. Melipat
melewati batas yang seharusnya tidak dilewati melalui cara pemaksaan,
pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan, pengerdilan (miniaturisasi) itulah
lukisan sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai dunia yang dilipat.
Pembahasan seperti ini ditulis jelas oleh Dosen FSRD ITB, Dr. Yasraf Amir
Piliang, M.A melalui bukunya “Sebuah Dunia yang Dilipat” (Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme). Beliau mencoba mengungkap
cermin dari dunia yang telah melampaui batas-batas yang seharusnya tidak dilaluinya,
yang menciptakan sebuah wajah baru kebudayaan yang tak terbayangkan, tak
terpikirkan, dan tak terimajinasikan sebelumnya.
Meski ini merupakan buku lama beliau terbitan Mizan cetakan
pertama pada 1998 akan tetapi ulasan-ulasannya tetap up-to-date, Beliau
menguraikan menjelang milenium ketiga, fenomena-fenomena menarik sebagai sebuah
realitas baru tumbuh dengan subur bak kapang di musim hujan. Ini terjadi karena
ditopang dan didorong oleh teknologi Informasi. Yasraf Amir Piliang, penulis
buku ini mencoba memaparkan berbagai realitas kehidupan kontemporer di
penghujung milenium kedua. Secara esensial, buku ini mendeskripsikan, baik
secara ekspresif maupun impresif, fragmen-fragmen dunia yang dapat dilipat yang
terasa mengalami perubahan budaya secara cepat, dramatis dan amat dipengaruhi
oleh proses pengglobalan keadaan yang menyangkut hampir segala bidang
kehidupan.
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio membuat manusia memandang dan menghadirkan
dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Yasraf Amir
Pilliang mengistilahkan dunia seperti itu sebagai dunia yang telah dilipat. Hal
ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi
telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari
kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi,
telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit
waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan
ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke
dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi
tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu
hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon
dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu
bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil
bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana
sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya.
Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video,
dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip Yasraf
Amir Pilliang, bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam
sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat
mencari dan menyaksikan melalui video, film, televisi. Ingin tahu mendetail
tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam
internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan
seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia
oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan
informasi.
Pada bab satu yang berjudul ’Perangkap-perangkap Ekstasi’,
Yasraf menjelaskan terperangkapnya berbagai sisi kehidupan ke dalam
perangkap-perangkap ekstasi, yakni ekstasi ekonomi, ekstasi komoditi, ekstasi
komunikasi, ekstasi konsumerisme, ekstasi gaya hidup, ekstasi televisi, ekstasi
seksual, ekstasi internet, dan ekstasi ecstasy. Selain itu, Yasraf mengajak
kita untuk berkontemplasi agar terlepas dari perangkap-perangkap tadi. Hal ini
memiliki potensi kejadian yang cukup kuat jika manusia kontemporer dikembalikan
lagi pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani, dan ketajaman hati di
tengah belantara citraan, bujuk rayu dan kepalsuan masyarakat konsumen yang
mana menjadi fenomena dewasa ini.
Ekstasi sendiri merupakan suatu keadaan mental dan spiritual
yang mencapai titik puncak, saat jiwa tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang
lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari, sehingga muncul puncak
kemampuan diri dan kebahagiaan luar biasa serta trance, kemudian diiringi oleh
pencerahan.
Pada umumnya, orang menganggap puncak ekstasi itu adalah
kesenangan dan hiburan semata, semisal fashion, free sex, dan sebangsanya.
Namun, hakikat puncak ekstasi adalah upaya maksimal yang dapat kita lakukan
untuk meraih kesempurnaan diri di hadapan Tuhan. Berkat kekeliruan persepsi
tentang puncak ekstasi tersebut, maka muncullah masyarakat konsumer yang penuh
narsisisme, yakni suatu kecenderungan memandang dunia dari cerminan nafsu, dari
kegairahan, bahkan dari ketakutan-ketakutan.
Namun sayangnya, tenggelam dalam siklus hawa nafsu berlebihan
dan berkepanjangan menyebabkan seseorang menjadi beku atau hampa akan makna,
nilai-nilai dan esensi moral. Dampaknya bisa kita lihat sekarang, segala
sesuatunya menjadi semakin tidak keruan, sebagaimana menyebarnya virus
HIV/AIDS, ekonomi libido, ekstasi ekonomi, ekstasi seksual, ekstasi permainan
(semisal olahraga), bahkan perubahan segala sesuatunya menjadi virtual
(termasuk virtual money).
Sedangkan pada bab kedua dibahas mengenai ‘realitas-realitas
parodi’. Bab ini menjelaskan berbagai bentuk wacana parodi di dalam masyarakat
dan kebudayaan kontemporer. Misalnya: parodi seni, parodi politik, parodi
sosial, parodi ekonomi, dan parodi seksual. Di sini, manusia memparodi dirinya
sendiri karena mereka telah kehilangan kepercayaan terhadap diri mereka
sendiri. daripada percaya terhadap image atau wilayahnya sendiri, manusia lebih
memilih percaya pada apa yang disebut di dalam ilmu psikoanalisis sebagai image
cermin (mirror image) dari dirinya sendiri.
Dalam buku Sebuah Dunia Yang Dilipat ini, Yasraf A. Piliang
betul-betul memaparkan dengan gamblang bahwa internet merupakan sarana yang
berhasil memadatkan ruang dan waktu dalam beberapa detik. Dewasa ini, seseorang
tidak perlu lagi mempersiapkan paspor dan visa untuk mengetahui keindahan air
terjun Niagara atau kecantikan kota Venice di Italia. Orang tidak perlu
mencapai ribuan kilometer untuk mencari gadis dari kawasan Amerika Latin.
Sama halnya pula yang dikatakan lagi oleh Yasraf bahwa dunia
maya memungkinkan seseorang bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh
kesadarannya. Segala tindak-tanduk manusia bisa dimodifikasi sesuai dengan
keinginan hati. Hal ini ditunjang oleh fasilitas internet yang bisa
diperbaharui atau dihapus.
Menurutnya, dunia maya merupakan gabungan antara kebenaran dan
kepalsuan. Seluruh bentuk kebenaran bersanding pada saat bersamaan dengan
bentuk-bentuk kejahatan. Yasraf menyebut semua hal bebas berkeliaran di
dalamnya. Kebebasan menjadi instrumen bagi cyber-violence, cyber-pron, dan
cyber anarchy.
Pada bagian terakhir, yakni ‘jejak-jejak milenium’, diterangkan
mengenai jejak-jejak milenium yang mengungkapkan secara ironis bagaimana
masyarakat kontemporer kita yang tengah memasuki milenium ketiga terkurung di
dalam realitas semu yang menguasai realitas kehidupan. Bermacam realitas baru
yang maya mengurung masyarakat kontemporer dari setiap arah, yakni
hiperealitas, realitas virtual, ekonomi virtual, politik virtual, dan media
virtual.
Dunia terkurung di antara dunia virtual dengan dunia kenyataan
hidup (fakta). Atau dengan kata lain terkurung di antara realitas semu dimana
semua yang padat melebur ke dalam layar kaca serta semua yang mahal berada di
shopping mall. Antara layar kaca dan shopping mall memiliki hubungan erat,
sebab semua yang ada di layar kaca menjadi tontonan dan panutan manusia
(sinetron, informasi, iklan, dsb) dan shopping mall merupakan alat komoditi
untuk memuaskan fantasi manusia yang dihasilkan oleh tayangan dari layar kaca.
Memasuki milenium ketiga, terciptalah ekonomi virtual dan
masyarakat cyber, sehingga semua hal yang kontradiktif hadir bersamaan
(baik/buruk, moral/amoral, kaya/miskin). Dalam keadaan seperti inilah muncul
virus-virus yang dapat melenyapkan batas-batas sosial, semisal virus AIDS,
virus program, virus soros, dan virus spekulan mata uang. Sebagai dampak
globalisasi, uang yang menjadi virtual money kehilangan maknanya sebagai sistem
ukuran bagi produksi dan nilai dalam dunia nyata.
Hal vital yang perlu kita perhatikan dewasa ini adalah bahwa
dimanapun dan kapanpun, kita tetap tidak akan aman dari invasi getaran hawa
nafsu dan arus energy libido yang diakibatkan oleh tayangan-tayangan televisi,
video, atau jaringan computer yang ‘pelan tapi pasti’ dapat menjadikan manusia
tak lagi bermoral.
Selain itu terdapat pula libidosophy yang melakukan pengembaraan
dalam menjelajahi konsep-konsep serta kemungkinan pelepasan nafsu dan
pemyempurnaan energi libido. Amerika Serikat merupakan contoh negara dimana
penduduknya bebas melakukan libidosophy sehingga berkembanglah logika
libidonomics (tidak cukup hanya 1 kesenangan atau1 hiburan).
Di samping mengikuti gaya hidup yang penuh upaya menanggalkan
hawa nafsu dan arus energi libido (gaya hidup konsumerisme), tentunya manusia
masih memiliki beberapa pilihan gaya hidup alternatif menuju ke arah yang lebih
baik, antara lain gaya hidup etnik dan subkultur, spiritualisme dan neo
spiritualisme, atau gaya hidup hijau.
Bahaya lain yang mengancam kita di tengah era globalisasi dan
modernisasi ini adalah libidosophy (yang dijelaskan di atas) dan pornografi
yang mengancam masa depan kebudayaan karena sudah terlalu bebasnya manusia
mengeluarkan hasratnya tanpa ada batas-batas tertentu. Kemudian hal ini jua
yang dapat membinasakan peradaban manusia. Padahal nenek moyang manusia yang
amat primitif dengan segala usahanya telah mencoba membangun bumi yang aman,
damai, dan sejahtera bagi seluruh penghuninya. Terdapat sebuah konteks menarik
dalam buku ini, yaitu ‘transparansi kebudayaan’ yang pada akhirnya mewajibkan
manusia untuk memilih (sebagaimana halnya gaya hidup) untuk kelangsungan dan
keselamatan dunia berikut isinya.
Menuju kota digital, seperti yang kita bayangkan dimana segala
sesuatunya berlaku sangat bebas, modern dan tanpa batas, ternyata memiliki sisi
lain selain sisi positifnya. Adapun sisi negatifnya adalah munculnya kondisi
menuju kota mati, proses kematian geografi yang diambil alih oleh kolonialisasi
imagologi.
Secara umum, buku ini menerangkan dan mengingatkan kita akan
fakta sebuah dunia yang dilipat dengan seluruh pernak-perniknya dan segala
dampaknya (baik positif atau negatif). Dengan hamparan-hamparan fakta didukung
oleh dasar pemikiran yang kuat, menjadikan buku yang ditulis oleh Yasraf Amir
Piliang ini menggugah manusia untuk mengetahui ada apa sebenarnya di balik
dunia yang semakin berlipat ini.
Rasa kepedulian akan buruknya mengumbar hawa nafsu dan peringatan
bahwa tidak ada yang aman di dunia ini cukup menjadi cambuk kepada pembaca agar
tetap hidup di jalan yang lurus (benar). Globalisasi, modernisasi, atau apapun
namanya hanyalah merupakan sebuah perubahan dalam hidup manusia, namun jangan
sampai manusia ikut terseret dalam arus menyesatkan di dalam pusarannya.
Satu hal yang menarik dari buku ini adalah ketika Yasraf
menjelaskan istilah ekstasi yang digunakan secara latewral ketika di sana-sini
digambarkan anak-anak muda yang hanyut di dalam pengaruh pil ectasy. Namun,
istilah ekstasi juga digunakan secara metafor saat berbagai hal pada bagian
satu berbicara ekstasi ekonomi, ekstasi komunikasi atau ekstasi media. Buku
yang sangat menarik ini memiliki keunikan tersendiri karena mengungkap secara
komprehensif realitas kebudayaaan menjelang milenium ketiga dan matinya
posmodernisme. Selain itu sangat relevan bagi seluruh kalangan yang
menginginkan mengerti hakekat kehidupan dan realitas budaya sehingga tidak
terjebak ’kesemuan’.
~Sumber~
~Sumber~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar