Senin, 28 Februari 2011

ANARKISME

TEORI ANARKISME
Sekolah/pendidikan anarkisme, sebaliknya, tanpa terkecuali memunculkan pula semacam prinsip-prinsip organisasional atau bentuk praksisnya sendiri, seperti: Anarko-sindikalis dan Anarko-komunis, Insureksionis dan Platformis, kooperativis, konsilis, individualis, dan demikian seterusnya.
Anarkis dibedakan berdasarkan pada apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk melakukan bentuk praksis yang mereka inginkan. Dan sebenarnya hal inilah yang telah membuat para anarkis tersebut menyisakan waktu untuk memikirkan serta berargumentasi. Mereka tak pernah begitu banyak tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk strategi secara luas atau pun pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menyita perhatian para Marxis seperti: apakah petani secara potensial merupakan kelas yang revolusioner..??? (menurut para anarkis, para petanilah yang berhak memutuskan hal ini) ataukah pertanyaan seperti: apakah sifat yang mendasar dari komoditas? Para anarkis justru lebih cenderung untuk berargumentasi hal-hal yang menyangkut: jalan demokratik macam apa yang akan mereka lakukan pada saat pertemuan, pada titik manakah organisasi berhenti untuk menguasai masyarakat dan mulai untuk memberi kesempatan sepenuhnya pada kebebasan individual. Apakah `kepemimpinan` sungguh-sunguh merupakan sesuatu yang buruk? Atau, secara berurutan, mengenai tatanan yang beroposisi dengan kekuasaan. Apakah itu aksi langsung? Perlukah seseorang untuk menghukum orang yang membunuh seorang kepala negara? Kapan waktu yang tepat untuk mulai melemparkan batu..? 

(1). Marxisme, kemudian, cenderung menjadi sebuah diskursus secara teoritikal maupun analitis yang berkaitan dengan strategi-strategi revolusioner. Anarkisme sendiri lebih cenderung menjadi tatanan diskursus yang berhubungan dengan praktek-praktek revolusioner. Sebagai hasilnya, di mana Marxisme menghasilkan berbagai teori praksis yang brilian, maka di kutub yang berbeda ada kaum anarkis yang cenderung menjalankan bentuk-bentuk praksis revolusioner itu sendiri.
Pada satu saat, ada suatu perpecahan antara generasi anarkisme: antara mereka yang formasi politiknya mewarnai era tahun 60-an dan 70-an dengan mereka yang seringkali tidak mengguncang kebiasaan-kebiasaan sektarian pada akhir abad 20--atau mereka yang masih beroperasi dalam kondisi yang semacam itu, serta aktivis-aktivis muda yang lebih dipengaruhi oleh elemen-elemen dari masyarakat adat, feminis, serta ide-ide ekologis dan kritik-kritik kebudayaan. Pembentuk organisasi tersebut secara umum terkait dengan federasi-federasi anarkis seperti IWA, NEFAC atau IWW. Mereka yang muncul belakangan berada dalam wilayah jejaring dari gerakan sosial global, jaringan seperti Peoples Global Action, yang menyatukan kolektif-kolektif anarkis di benua eropa dan berbagai kelompok di tempat lain seperti aktivis-aktivis Maori di New Zealand, kaum nelayan di Indonesia, atau serikat pekerja pegawai pos di Kanada
(2). Yang terakhir ini mungkin kurang bisa disebut sebagai `kelompok kecil anarkis`. Namun terkadang sangat sulit untuk di sebut sebagai kelompok kecil, semenjak banyak di antara kelompok tersebut tidaklah menyuarakan semangat affininti mereka begitu keras. Pada kenyataanya, begitu banyak di antara mereka yang memilih prinsip-prinsip dari anti-sektarianisme dan untuk beberapa alasan tertentu, begitu serius untuk menolak melabeli tindakan mereka sebagai `anarkis`
(3). Ada tiga alasan esensial yang mengiringi segala manifestasi dari ideologi anarkis yang antara lain ialah: anti-negara, anti-kapitalisme dan politik prefiguratif (yaitu cara-cara organisasi yang secara sadar menyerupai dunia yang kau ciptakan. Atau, sebagaimana sejarah revolusi anarkis di Spanyol yang telah terformulasikan `usaha untuk tidak hanya berpikir mengenai ide-idenya akan tetapi kenyataan dari masa depan itu sendiri
(4). Hal ini hadir mulai dari kolektif Cultural Jammers dan juga pada Indy media, atau segala hal yang dapat disebut sebagai anarkis dalam pengertiannya yang baru
(5). Di beberapa negara, terdapat semacam pertemuan antara dua generasi yang hidup sejaman dimana sebagian besar mengambil bentuk yang mengikuti apa yang dilakukan oleh yang lain-walaupun tak banyak.

ANARKISME; ATAU GERAKAN REVOLUSIONER ABAD 21 
Sudah semakin jelas bahwa zaman revolusi belumlah berakhir. Dan juga semakin jelas bahwa gerakan revolusioner global di abad 21 ini, salah satunya akan ditelusuri asal muasalnya justru bukan dari tradisi Marxisme, atau barangkali sosialisme yang didefenisikan secara dangkal, namun dari anarkisme.
Di setiap tempat dari Eropa Timur hingga Argentina, dari Seattle sampai Bombay, ide-ide dan prinsip anarkis membawa pandangan dan mimpi-mimpi radikal yang baru. Meski pun banyak dari eksponen mereka tidak menyebut diri sebagai anarkis. Tetapi, mereka memiliki nama lain : otonomisme, anti-otoritarianisme, horizontalitas, zapatisme, demokrasi langsung …. Dan juga, di setiap tempat tersebut kita akan mendapati prinsip-prinsip yang sama : desentralisasi, asosiasi sukarela, mutual aid, model jejaring, dan di atas semua itu adalah sebagai bentuk penolakan atas segala ide yang menjustifikasikan akhir dari segala makna, yang cenderung membiarkan urusan revolusioner adalah untuk mengisi kembali kekuasaan negara dan mulai mengesankan visi yang sedang berada tepat di depan moncong senjata. Di atas semua itu, anarkisme, sebagai bentuk praksis-ide-ide pembentukan satu tatanan masyarakat baru "dalam kulit luarnya yang telah usang"-telah menjadi inspirasi yang mendasari dari suatu bentuk "pergerakan di antara pergerakan" (sebuah bentuk pergerakan dimana si penulis terlibat di dalamnya), di mana sedari awalnya gerakan tersebut lebih memilih untuk mengambilalih kekuasaan negara daripada membongkar kebobrokannya, atau bahkan mendelegetimasikan serta membongkar mekanisme dari peraturan dimana pada saat yang bersamaan juga memperluas ruang-ruang otonomi serta pola manajemen secara partisipatoris di dalamnya.
Ada beberapa alasan yang sangat meyakinkan bagi daya tarik yang terdapat dalam ide-ide anarkis pada abad 21. Terutama, kegagalan serta bencana yang dihasilkan dari sekian banyaknya upaya untuk menaklukkan kapitalisme dengan jalan meraih kontrol atas aparatus pemerintahan di abad ke-20. Meningkatnya jumlah kaum revolusioner yang mulai memahami bahwa "revolusi" tidaklah datang sebagai sebuah momen-momen apokaliptik yang mengagumkan, layaknya sebuah badai global yang sepadan dengan luasnya winter palace, akan tetapi merupakan proses yang sangat panjang yang telah berlangsung /terjadi sepanjang sejarah umat manusia (bahkan jika hal tersebut memiliki prasyarat untuk mengakselerasikan yang telah terjadi sebelumnya) strategi penuh dari proses "lepas landas" serta pengelakan tersebut sedikit banyak merupakan konfrontasi yang dramatis, yang tentu saja takkan pernah--sebagaimana yang dirasakan oleh para anarkis pada umumnya--menjadi sebuah konklusi yang defenitif.
Sedikit membingungkan memang, namun hal tersebut justru menawarkan salah satu hiburan yang sangat mengagumkan : kita tak perlu lagi menunggu hingga "revolusi itu terjadi" untuk sekedar menyaksikan, walaupun secara sekilas, seperti apakah makna sejati dari kebebasan yang sesungguhnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kolektif Crimethinc, propagandis terbesar dalam anarkisme kontemporer Amerika, mereka berpendapat bahwa: "kebebasan hanya eksis dalam momen revolusi. Dan momen-momen tersebut tidaklah seaneh seperti yang kalian pikir." Bagi seorang anarkis, pada kenyataannya, mencoba untuk menciptakan pengalaman yang tidak teralienasi, demokrasi sejati, adalah hal penting; hanya membuat bentuk organisasi tertentu di masa sekarang pada akhirnya menjadi sebuah perkiraan kasar mengenai bagaimana masyarakat bebas dapat berjalan secara aktual, bagaimana setiap orang, suatu hari, dapat hidup atau memberi jaminan bahwa kita tidak akan kembali melalui bencana. revolusioner-revolusioner suram tanpa kegembiraan yang mengorbankan segala kesenangan hanya dapat melahirkan masyarakat yang suram dan tanpa kegembiraan pula.
Perubahan-perubahan yang terjadi ini sangat sulit untuk didokumentasikan karena sejauh ini ide-ide anarkistik hampir tidak memperoleh perhatian sama sekali pada tataran akademik. Ada ribuan pemikir akademis marxis di luar sana, namun sangatlah sulit untuk menemukan pakar akademis yang anarkistik. Jarak yang memisahkan ini biar bagaimanapun sangat sukar untuk diinterpretasikan. Pada satu sisi, tak dapat diragukan lagi, ini lebih disebabkan karena marxisme lebih memiliki kedekatan dengan para akademisi yang sama sekali tidak terjadi pada anarkisme: oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hanya gerakan sosial--yang juga menjadi gerakan sosial terbesar saat ini--tersebutlah yang banyak menyita perhatian para akademisi yang bergelar Ph.D. Hampir keseluruhan hasil kalkulasi sejarah mendapati sebuah asumsi bahwa hal ini disebabkan karena secara mendasar anarkisme memiliki kemiripan dengan marxisme: anarkisme hadir sebagai gagasan jitu dari para pemikir-pemikir abad ke-19 (Proudhon, Bakunin, Kropotkin... dst) yang dikemudian hari banyak menginspirasi organisasi-organisasi kelas pekerja, terjerat dalam perjuangan-perjuangan politik, dan terpecah ke dalam berbagai golongan....
Anarkisme, dalam hitung-hitungan standar, seringkali muncul sebagai sepupu marxisme yang menyedihkan, sedikit janggal/kaku secara teoritik namun berusaha untuk tetap mengeluarkan gagasan yang cemerlang, baik itu dengan hasrat dan ketulusan hati. Sesungguhnya analogi yang demikian sangatlah merusak. Para pencetus dari anarkisme tidaklah berpikir bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang baru. Anarkisme di masa lampau telah menunjukkan prinsip mendasar dari anarkisme seperti: Mutual-aid, asosiasi secara sukarela, pengambilan keputusan secara egalitarian (merupakan cara pengambilan keputusan yang sejarahnya memiliki usia sepadan dengan sejarah umat manusia). Hal yang sama juga berlaku pada penolakannya terhadap negara dan segala bentuk kekerasan struktural, hirarki, atau pun dominasi (secara literal anarkisme berarti `tanpa pemerintah`)--sekalipun asumsi atas bentuk yang demikian bagaimanapun juga dapat saling berkaitan dan saling bertentangan satu sama lain. Tak satu pun dari hal tersebut terlihat sebagai bentuk doktrin yang baru, namun merupakan tendensi yang telah lama bertahan sepanjang sejarah pemikiran umat manusia, dan tak pernah tercakup dalam teori-teori atau pun ideologi yang umum.
Pada satu level anarkisme seperti satu bentuk keyakinan: keyakinan bahwa hampir seluruh bentuk sikap tidak bertanggung jawab, yang sepertinya telah mejadikan kekuasaan menjadi suatu kebutuhan, pada kenyataannya merupakan efek yang ditimbulkan dari kekuasaan itu sendiri. Sekalipun dalam prakteknya hal ini tak henti-hentinya dipertanyakan, ada sebuah usaha keras untuk mengenali setiap kewajiban atau relasi hirarkis dalam kehidupan manusia, yang kemudian menantang mereka untuk menjustifikasikan keberadaan mereka sendiri, dan jika mereka tak dapat melakukan--yang biasanya menjadi satu bentuk perburuan--maka sebuah usaha yang keras untuk membatasi kekuasaan pun mereka lakukan dan begitu pula dengan kesempatan bagi kebebasan manusia.
Sekolah marxisme selalu memiliki pencetus. Seperti halnya marxisme yang bersumber dari pemikiran Marx, maka kita juga mendapati para Leninis, Maois, Althusserian.... dst, (perhatikan bagaimana daftar yang dimulai dari kepala negara dan kelas/golongan hampir memiliki kesamaan dengan para professor Perancis--yang pada gilirannya, dapat menghasilkan golongan-golongan mereka sendiri: Lacanian, Foucauldian..... dst).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar