Selasa, 09 Agustus 2011

Kemunafikan Manusia

Malam tahun baru, setelah selesai mengisi acara di sebuah panggung kemudian saya luangkan waktu dengan membaca buku yang sudah lama teronggok meluber dikamar. Tak luput juga saya mencari-cari artikel yang sekiranya menarik untuk menyegarkan otak dari gumpalan-gumpalan beku di kerangka kepala.
Saya temukan sebuah artikel yang dalam kacamata saya sangatlah “sensitif” di sebuah blog, sangat menarik menurut saya. Hingga tak luput sang empunya Blog pun memberikan prolog bahwa artikel ini memang sensitif. Benar, ini sangatlah sensitif. Bila dibaca oleh orang yang kacamata bacanya hanya masih terkotak dalam batasan “harfiah”. Apalagi ditambah dengan kecenderungan “malas” membaca untuk mendapatkan arti yang sesungguhnya. Seperti pernah saya temui seorang teman menuliskan sebuah hadis “Bentengilah harta kalian dengan zakat, obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah, dan hadapilah cobaan dengan do’a.” (HR. ath-Thabrani), dan saya coba untuk memancing apa kiranya yang dia lakukan untuk lebih dalam menggali arti sesungguhnya hadits tersebut, namun hanya pengembalian pendapat yang saya dapatkan bahwa itu adalah “hadits” bukan orang biasa yang mengucapkannya.
Saya rasa setiap ucapan “bermakna”, entah itu hadits ataupun kata mutiara selalu mempunyai arti lebih dalam dan tidak sekedar tatanan huruf dengan arti pasti. Karena dengan begitu adanya, seakan-akan zakat hanya digunakan untuk “mensucikan harta” dari hasil kerja yang telah didapatkan.
Maka bila siapapun yang membaca artikel ini, saya harap menyiapkan mental untuk lebih bisa meneliti dan menelaah lebih dalam setiap kalimat-kalimat yang ada di artikel ini. Artikel ini sebuah karya Ilmiah, dimana ditulis oleh seorang Profesor Doktor, dan sama sekali jauh dari kehendak untuk menggiring konflik sara ataupun sejenisnya.
Bukan bermaksud meremehkan kemampuan atau intelektualitas anda, namun ini sebagai prolog agar kita bisa membaca lebih ke dalam secara komprehensif. Mari tinggalkan budaya malas “membaca”, perbaiki ulang hal-hal bersifat pragmatis dan mengabaikan hal-hal yang bersifat bertele-tele. Karena semua itulah yang akan memberi cara pandang kita dalam menjalani hidup.
Judul dari artikel/tulisan ini yang sebenarnya adalah : MASIH PERLUKAH AGAMA?
Dalam suasana kultural modern agama telah sering jadi bahan tertawaan, olok-olok dan sinisme. Voltaire menganggap para pemuka agama tak lebih dari tukang sulap yang menggelikan. Bagi Nietzsche agama hanyalah melestarikan mentalitas budak. Dan Nietzsche telah membunuh Tuhan. Freud menganggap agama sebagai gejala mental kekanak-kanakan yang tak mau tumbuh dewasa dan bahkan sumber penyakit jiwa. Marx menganggapnya semacam narkoba yang menggerogoti daya hidup. Kaum positivis macam A.Comte cs. meyakini bahwa bagaimana pun era agama (dan metafisika) akan lewat, digantikan oleh pengetahuan ilmiah positif yang lebih jernih dan obyektif. Hegel menganggap agama hanya sebagai tahapan sementara dalam peradaban, yang akan digantikan oleh filsafat sebagai puncak kesadaran diri rasionalitas. Bertrand Russell menulis buku “Why I am not a Christian”. Ibn Warraq menulis “Why I am not a Muslim”. Di Indonesia seorang penyair bukan hanya menganggap Tuhan sudah mati, ia bahkan menganggapnya sudah menjadi fosil. Daftar macam ini bisa diperpanjang lagi, tentu. Masalahnya; apa yang menyebabkan agama menjadi bahan olok-olok begitu? Mungkin kehidupan beragama mengidap idealisme-idealisme yang dalam kenyataan lebih terasa bagai ilusi-ilusi, yang pada gilirannya justru membuatnya kehilangan kehormatan dan keanggunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar